KDRT

Peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) didominasi oleh istri sebagai korban. Kekerasan dalam rumah tangga berkaitan erat dengan persoalan gender, adanya diskriminasi terhadap perempuan, serta diidentikkan dengan permasalahan pribadi dalam suatu keluarga. Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis, ekonomi dan seksual.

Dalam KUHP Pasal 285 tindak pidana seperti, pencurian dan pemerkosaan. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak sampai dewasa.


woman in gray scoop neck shirt holding her hands

Bentuk Kekerasan Pada Anggota Keluarga Dari berbagai kasus yang pernah ada di Indonesia bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi berikut ini :

1. Kekerasan Fisik: Pembunuhan, Penganiayaan, dan Pemerkosaan.

2. Kekerasan Non-Fisik/Psikis/Emosional: Penghinaan, Komentar-komentar yang dimaksudkan untuk merendahkan dan melukai harga diri pihak istri, Melarang istri bergaul, Ancaman berupa akan mengembalikan istri ke orang tua, Akan menceraikan, Memisahkan istri dari anak-anaknya.

3. Kekerasan Seksual: Mengisolasian istri dari kebutuhan batinnya, Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau di-setujui oleh istri, Pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak menghendaki istri sedang sakit atau sedang menstruasi, Memaksa istri menjadi pelacur atau sebagainya.

4. Kekerasan Ekonomi: Tidak memberi nafkah pada istri, Memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomis untuk mengontrol kehidupan istri, Membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai oleh suami.

Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 KDRT bertujuan:

1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Selain itu hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Dalam Pasal 29 UU ini mengatur permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh: Korban atau keluarga korban, Teman Korban, Kepolisian, Relawan Pendamping, dan Pembimbing Rohani.

Maka dengan demikian peran advokat terkait kekerasan sebagai berikut:

1. Advokasi, Pengacara memperjuangkan hak klien untuk memperoleh keadilan dari tindak pidana kekerasan tersebut
2. Representasi, pengacara memberikan pendampingan kepada klien dalam memperoleh keadilannya dalam tindak pidana kekerasan tersebut.
3. Penelitian Hukum, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU Tentang PKDRT.
4. Konsep Gugatan, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU PKDRT.
5. Nasehehat Hukum, sesuai dengan kewenangan dalam peraturan perundang-undangan dalam memperoleh keadilan dari tindak pidana kekerasan tersebut.
6. Pengacara memastikan hak hukum berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kami Konsultan Hukum Permasalahan Keluarga

Langsung terhubung bersama kami melalui whatsApp untuk mendapatkan informasi langsung mengenai pengurusan perceraian sekarang juga

a wooden gaven sitting on top of a white counter
a wooden gaven sitting on top of a white counter