Perkawinan Beda Negara
Perkawinan hanya terjadi antara dua orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan salah satu pihak kewarganegaraan. Perkawinan campuran ini tidak hanya berdampak pada pasangan suami-istri, juga berdampak secara langsung kepada anak. Hal ini terlihat dimana status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran menurut Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan), adalah bersifat ganda, dan dapat memilih kewarganegaraanya sendiri setelah berumur 18 tahun.
Jika anak memilih menjadi WNI, maka ia harus membuat pernyataan untuk menjadi WNI. Pernyataan tersebut dibuat secara tertulis dan pengajuannya secara elektronik melalui laman resmi Direktrorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Batas waktu penyampain pernyataan untuk memilih kewarganegaraan tersebut adalah tiga tahun sejak berumur 18 tahun atau telah menikah.
Akibat WNI menikah dengan WNA
WNI yang menikah dengan seorang WNA akan kehilangan kewarganegaraan RI, pada waktu dalam satu tahun setelah pernikahannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegarannya RI itu, ia menjadi tampa kewarganegaraan. Kewarganegaraan akan diperoleh kembali jika pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu. Keterangan itu harus dinyatakan dalam jangka waktu satu tahun setelah perkawinannya terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan di RI tempat tinggalnya.
Perkawinan antara 2 (dua) orang (laki-laki dan perempuan) yang berbeda kewarganegaraan, dan salah satu adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang dilangsungkan di Kedutaan Besar Negara Asing di Indonesia, pada dasarnya dianggap sebagai perkawinan yang dilangsungkan di luar wilayah Indonesia.
Perkawinan yang dianggap sebagai perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia tersebut, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan campuran tersebut belum diakui oleh hukum Indonesia. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal pihak mempelai yang berkewarganegaraan Indonesia di Indonesia (sesuai dengan ketentuan dalam pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Proses pencatatan perkawinan yang diatur oleh undang-undang itu sendiri antara 2 (dua) orang yang berbeda kewarganegaraan, pada prinsipnya tidak menjadikan perkawinan itu tidak sah, karena proses pencatatan adalah proses administratif. Namun dalam hukum nasional Indonesia, proses pencatatan ini telah menjadi bagian dari hukum positif, karena hanya dengan proses ini, maka masing-masing pihak diakui segala hak dan kewajibannya di muka hukum.

1. Advokasi, Pengacara memperjuangkan hak-hak kewarganegaraan. Seperti anak ketika ingin memilih kewarganegaraanya dan WNA yang memperoleh kembali kewarganegaraanya
2. Representasi, pengacara memberikan pendampingan kepada klien dalam memperoleh kewarganegaraanya kembali
3. Penelitian Hukum, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Seperti UU Perkawinan dan UU Kewarganegaraan
4. Konsep Gugatan, berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 12 Tentang Kewarganegaran
5. Nasehehat Hukum, sesuai dengan Kewenangan dalam Peraturan Perundang-undangan tentang perolehan kewarganegaraan
6. Pengacara memastikan hak hukum berdasarkan UU No. 12 Tentang Kewarganegaraan
Maka dengan demikian peran advokat terkait perkawinan beda negara, sebagai berikut:
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Kami Konsultan Hukum Permasalahan Keluarga
Langsung terhubung bersama kami melalui whatsApp untuk mendapatkan informasi langsung mengenai pengurusan perceraian sekarang juga