Berkenaan dengan poligami, KHI mengatur dengan kriteria diperbolehkannya terjadinya poligami dimana dalam keadaan sang istri tidak bisa memberi keturunan, tidak bisa melayani suami atau cacat badan dan sakit yang tidak bisa disembuhkan.
Berkenaan dengan poligami, UU No. 1 tahun 1974 dalam Pasal 3 memuat beberapa ketentuan sebagai berikut :
1. Pada dasarnya dalam suatu perkawinan, seseorang hanya mempunyai seorang istri, wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Namun pada kalangan masyarakat sekarang ini justru poligami sering terjadi bukan karena alasan diatas, namun dengan alasan sepele yang sama sekali tidak masuk akal dan bertentangan dengan nilai keadilan. Poligami bukanlah suatu hal yang dianjurkan dalam agama Islam, sebaliknya juga bukan merupakan suatu larangan. Tetapi Islam memberikan peluang untuk berpoligami sebagai upaya untuk mengatasi kepentingan yang bertalian dengan kemaslahatan masyarakat dan para pelakunya dan bukan sebagai ajang coba-coba atau sekedar untuk menyalurkan seks semata. Poligami adalah rahmat Allah SWT. kepada manusia yang telah disediakan untuk mengatasi kesulitan dan merupakan jalan keluar bagi mereka yang belum atau tidak menemukan tujuan yang didambakan dalam perkawinan baik yang pertama maupun yang selanjutnya. Dan Islam tidak sepenuhnya menghapus poligami.
Dasar Hukum Poligami dalam Al-Qur’an Islam sebagai syari’at terakhir, universal serta merupakan rahmat bagi seluruh alam telah mengabsahkan poligami yang telah berjalan jauh. Hanya saja pengabsahan ini disertai dengan pembatasan dan persyaratan-persyaratan tertentu,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT, surat An-Nisa ayat 3 : Artinya: “Dan jika kamu takut tidak bisa berlaku adil terhadap (hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya). Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(QS. An Nisa: 3) (Departemen Agama RI, 1999:115).
Syarat yang harus dipenuhi dalam melukan poligami dalam Pasal 5 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan:
a. Persetujuan dari isteri
b. Kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri dan anak mereka.
c. Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak mereka.
Maka dengan demikian peran advokat terkait permohonan ijin poligami sebagai berikut:
1. Advokasi, Pengacara memperjuangkan perolehan hak istri setelah suami poligami, hak istri pertama-istri kedua.
2. Representasi, pengacara memberikan pendampingan kepada klien dalam memperoleh hak istri setelah suami poligami, hak istri pertama-istri kedua.
3. Penelitian Hukum, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Seperti UU Perkawinan dan KHI
4. Konsep Gugatan, berdasarkan UU Perkawinan dan KHI
5. Nasehehat Hukum, sesuai dengan Kewenangan dalam Peraturan Perundang-undangan tentang perolehan hak istri setelah suami poligami, hak istri pertama-istri kedua.
6. Pengacara memastikan hak hukum berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
Dasar Hukum: